pengetahuan Tak Berkategori

PWI–LS Sukoharjo: Manaqib Sebagai Gerakan Spiritual Pembebasan dari Hegemoni Nasab Elitis

Solo Baru , 6 Agustus 2025 — Dalam momentum pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jailani yang diselenggarakan oleh komunitas PWI–LS Sukoharjo di  Pesantren  Zhakiah kawasan Solo Baru, terselip pesan spiritual dan ideologis yang tajam. Acara ini bukan sekadar rutinitas keagamaan, melainkan juga bentuk afirmasi terhadap gerakan spiritual yang membebaskan umat dari mentalitas feodal berbasis nasab.

Hadir dalam kegiatan ini sejumlah tokoh penting seperti KH. Herisucahyo, KH. Zainal Arifin, dan KH. Imam Syafi’i, serta ratusan jamaah dari berbagai kalangan. KH. Nur Hasan juga turut hadir dalam acara tersebut bersama para tokoh lainnya. Namun, yang menjadi sorotan utama adalah ceramah Ketua PWI–LS Kabupaten Sukoharjo, yang menyampaikan sikap tegas terhadap gejala pengultusan nasab yang makin mencuat di tengah masyarakat.

“Manaqib ini bukan hanya ajang penghormatan kepada Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Ia adalah simbol perlawanan ruhani terhadap superioritas yang dibangun oleh kelompok elitis dengan dalih silsilah keturunan. Manaqib adalah jalan kesetaraan,” tegas Kh. Moh. Mahbub,  Ketua PWI–LS Sukoharjo.

Pernyataan tersebut menjadi kontra narasi atas dominasi simbolik sebagian kelompok yang menjadikan nasab Hadhrami (Baklawi) sebagai klaim eksklusifitas kemuliaan dalam kehidupan beragama. Ketua PWI-LS menekankan bahwa akar ajaran Syekh Abdul Qodir al-Jailani justru membongkar mitos tersebut dan mengembalikan spiritualitas Islam pada nilai amal dan taqwa.

“Jangan lagi umat dibelenggu oleh ilusi keturunan. Manaqiban harus membangun keyakinan bahwa amal dan akhlaklah yang meninggikan derajat manusia, bukan garis keturunan.”

Ia mengutip pernyataan penting dari Syekh Abdul Qodir al-Jailani dalam kitab al-Ghunyah yang menegaskan prinsip kesetaraan spiritual:

لا فخر لمن كان من نسل النبي إذا عصى، ولا ذلّ لمن كان غيره إذا اتقى

“Tak ada kebanggaan bagi keturunan Nabi jika ia durhaka, dan tak ada kehinaan bagi selainnya jika ia bertakwa.”

Ceramah tersebut menghidupkan kembali misi manaqib sebagai tradisi keilmuan dan spiritual yang inklusif, progresif, dan membebaskan. Ini merupakan koreksi atas dominasi wacana sebagian elite agama yang menjadikan nasab sebagai alat pembungkam sosial dan monopoli kesucian.

Acara kemudian ditutup dengan pembacaan manaqib dan doa bersama yang berlangsung khidmat. Nuansa keberkahan dan refleksi diri mengalir dalam suasana penuh kekhusyukan, seraya meneguhkan semangat bahwa setiap insan memiliki peluang yang sama untuk meraih derajat mulia di hadapan Allah, tanpa dibatasi oleh latar nasab dan garis keturunan.