Opini

Menimbang Omnibus Law dalam Fiqh al-Bi’ah

indonews.id

Memulai tulisan ini mari kita telusuri dari awal bagaimana proses Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja sampai disahkan menjadi Undang-Undang pada Senin lalu (5/10). Merujuk pada infografik yang dimuat oleh laman kompas.com (07/10) proses RUU Ciptaker menjadi UU cukup singkat. Berawal dari pidato pertama setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019, Joko Widodo telah menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law. Sekali lagi Omnibus Law, bukan Melly Goeslaw.

Dua bulan kemudian, tepatnya pada 16 Desember 2019, Satgas Omnibus Law dibentuk oleh pemerintah dan ditunjuk Rosan P Roeslani sebagai Ketua Kadin dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai pengarah. Ia adalah yang kelak mengeluarkan statemen sensitif yang mengatakan Covid-19 tak akan masuk Indonesia sebab administrasinya ruwet.

Lalu pada Januari 2020 ada dua Omnibus Law yang diajukan pemerintah, yaitu Cipta Kerja dan Perpajakan. Kala itu pandemi Covid-19 sudah menyebar ke berbagai negara di belahan dunia. Tapi belum menyentuh Indonesia. Negara-negara yang terdampak sudah berjibaku menangani wabah Covid-19 sementara para elit pemerintahan di Indonesia masih kalem-kalem saja. Seolah mereka yakin Indonesia tidak bakal terpapar karena sering makan nasi kucing dan berdoa qunut tiap subuh. Oh, tidak bisa, Ferguso!

Begitu Covid-19 dimaklumatkan sebagai sebuah kejadian luar biasa pertengahan pada Maret 2020, pemerintah segera menimbang kebijakan-kebijakan untuk mengatasi pandemi ini. Mulai dikeluarkannya Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Negara untuk Penanganan Covid-19 hingga pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di seluruh daerah-daerah paparan.

Di tengah situasi pandemi, ternyata pada 2 April 2020, Presiden Jokowi mengeluarkan surpres (surat presiden) tentang omnibus law RUU Cipta Kerja dan dibacakan dalam rapat paripurna DPR. Pembahasan draf RUU Cipta Kerja diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg). Kemudian tidak lebih dari dua minggu, pembahasan RUU Cipta Kerja dilanjutkan pada 14 April 2020 dengan digelarnya rapat kerja perdana bersama pemerintah oleh Baleg DPR. Dan ditunda oleh Presiden pada 24 April untuk klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.

Terhitung dari mulai tanggal 20 April sampai 3 Oktober, sudah 64 kali rapat membahas RUU Cipta Kerja digelar dalam senyap, hening dan sepi, di balik gegernya kontroversi kebijakan pemerintah yang bergonta-ganti di luar sana. Tak hanya itu, orang-orang mulai bosan dan tidak percaya dengan adanya Covid-19. Para tenaga kesehatan kesusahan mencari APD. Sementara grafik perkembangan pandemi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda melandai.

Pada 3 Oktober 2020 polemik soal RUU Cipta Kerja mengemuka kembali usai Rapat Kerja Baleg DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI digelar pada Sabtu (3/30) malam dan menghasilkan persetujuan RUU Cipta Kerja dibawa ke Rapat Paripurna DPR. Berarti tinggal menyisakan satu langkah lagi untuk menjadi UU. Lalu apa kabar pandemi Covid-19? Tercatat 77.784 positif, 63.286 sembuh dan 1.743 meninggal.

Terakhir, 5 Oktober lalu, DPR mengesahkan Ombnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) melalui rapat paripurna. Menimbulkan aksi unjuk rasa besar-besaran oleh berbagai elemen, mahasiswa, buruh, masyarakat dan terjadi di berbagai daerah; Jakarta, Jogja, Kartasura, Pamekasan. Bahkan tak sedikit yang berakhir bentrok dengan aparat, menolak Ombnibus Law sekaligus menantang Covid-19. Tak ketinggalan juga berbagai ormas mengeluarkan sikap resmi menolak UU tersebut seperi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Ditambah kabar bahwa para pembahas tidak ada yang memegang draf RUU Cipta Kerja tersebut.

Omnibus Law dalam Perspektif Fikih

Sebelumnya saya apresiasi kepada pemerintah yang telah berusaha membentuk Undang-Undang semaslahat mungkin bagi seluruh warganya. Saya akui juga bahwa saya belum membaca isi keseluruhan UU tersebut yang tebalnya 812 halaman. Pun demikian, saya mengumpulkan data-data baik yang diberikan oleh pemerintah maupun para stakeholder, buruh dan serikat pekerja.

Saya tidak kompeten untuk berbicara isi UU Cipta Kerja yang semula merangkum 81 UU, lalu menyusut jadi 79, dan terakhir susut lagi menjadi 76 UU. Lagian siapa yang waktunya terlalu selo (longgar) untuk membaca seluruhnya? Termasuk mereka yang bilang; sudah baca belum? Tentu orang memilih bagian yang terkait dengannya saja. Misalnya M Kholid Syeirazi, Sekjen Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) sekaligus seorang pengamat migas dan minerba. Ia hanya menyoroti bagian yang menjadi fan-nya; migas dan minerba, Pasal 40 dan 39. Tulisannya dapat diakses di siniKemuskilan UU Ciptaker: Sektor Migas dan Minerba. Khalid mengatakan secara umum UU Cipta Kerja ini adalah legislasi sapu jagat. Soal investasi akan ditangani dengan Perizinan Berusaha. Padahal, tidak semua sektor boleh ditangani dengan rezim lisensi. Migas contohnya. Karena migas adalah cabang produk strategis.

Penulis buku Wasathiyah Islam : Anatomi, Narasi dan Kontestasi Gerakan Islam (2020) ini juga menyebutkan UU Cipta Kerja Pasal Minerba ini akan melanggengkan pengerukan minerba. Berbagai dampak negatif berpotensi muncul antara lain kerusakan lingkungan hidup, terancamnya nyawa dan kesehatan warga, konflik sosial dan lain-lain. Siapa yang rugi? Jelas rakyat dan negara!

Selain itu, Undang-Undang Pangan diubah oleh ketentuan dalam UU Cipta Kerja soal penyediaan pangan. Kalau dalam Undang-Undang Pangan yang lama, penyediaan pangan itu yang pertama adalah cadangan pangan nasional, lalu produksi dalam negeri. Kemudian ayat berikutnya baru dalam hal jika belum mencukupi maka bisa dilakukan impor sesuai dengan kebutuhan.

Tetapi UU Cipta Kerja ini merevisi Pasal 14 UU Pangan menjadi sumber penyediaan pangan nasional itu tiga; produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional dan impor. Artinya impor tersebut bukanlah pengecualian akan tetapi menjadi pasokan utama pangan nasional. Akibatnya kita akan semakin mengandalkan yang disuplai dari luar negeri. Ini jelas merugikan petani.

Dengan demikian, perlu kiranya untuk menimbang UU Omnibus Law dalam diskursus fiqh al-bi’ah (konservasi lingkungan). Utamanya berkaitan dengan minerba dan migas. Fikih ekologi ini hadir karena selama ini al-Quran dan fikih hanya menjelaskan mengenai prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan saja. Fikih ekologi ini berarti fikih yang menyoroti obyek bidang lingkungan dan perumusannya berdasarkan sumber nilai ajaran Islam.

Kita tentu mengetahui apa itu kulliyyat al-khams dalam bahasa Imam Ghazali atau maqashid al-syariah dalam bahasa Imam al-Syathibi, yaitu hifz al-‘aql (pemeliharaan akal), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz al-nasl (menjaga keturunan). Akan tetapi Dr. Yusuf Qardawi menambahkannya menjadi enam, yaitu hifz al-biah (pemeliharaan lingkungan). Lebih jauh lagi beliau menjabarkannya dalam bukunya yang berjudul Ri’ayat al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam (2001).

Pada intinya menjaga kelestarian ekologi merupakan tuntutan untuk melindungi keenam tujuan syariat di atas. Dengan demikian segala perilaku yang berpotensi merusak alam dan lingkungan hidup, setali tiga uang dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab dan agama.

Teman-teman santri pasti tahu kaidah ini; Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih, menolak kerusakan lebih diutamakan dari menarik kemaslahatan. Atau al-dhararu yuzalu biqadr al-imkan, kemudaratan harus dihilangkan semampunya. Selamat Hari Santri.

(Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Santri Nasional PP. Al-Fattah 2020, dan mendapat peringkat pertama)

Author : Khoirul Athyabil Anwari

Editor : Khoirun Nisaa’

Sending
User Review
3 (2 votes)

About the author

Redaksi PP Al-Fattah

Redaksi PP Al-Fattah

Website dikelola oleh tim redaksi Pondok Pesantren Al-Fattah

Add Comment

Click here to post a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.